Senin, 23 Juli 2012

Sebuah Kesederhanaan Perjuangan

Ada sebuah diskusi yang tadi terjadi sambil kita Buka Puasa bersamam ada ruang dialog yang coba saya bangun saat itu.
Sebuah pertanyaan sederhana yang ditanyakan oleh hampir semua barisan perjuangan atas nama apapun.
 
"Apa sey yang membuatmu memperjuangkan sebuah identitas yang marginal dan dianggap sebagai bagian dari sampah masyarakat atau kenapa kamu berani mengatakan sebagai orang yang memperjuangkan kawan-kawan komunitas minoritas?"

Saya sampaikan beberapa kisah yang membuat saya merasa perlu ada diruang perjuangan ini, kisah-kisah seorang kawan adik seorang pendeta yang ketahuan dirinya Gay dan dia melarikan diri dari rumah karena dikurung oleh keluarganya. Aku coba mendampinginya hingga pada akhrinya mau dan bersedia ketemu kembali dengan orang tuanya.

Kisah seorang anak yang ketahuan Gay dan dia lari dari rumah berbulan-bulan di rumah seorang kawan, karena sang kawan merasa tidak enak hati dengan keluarganya dia kembalikan anak itu kepada orang tuanya, namun setahun kemudian ketika dia ingin bertemu anak itu, anakitu sudah masuk ke RSJ setelah dipaksa untuk dimasukkan kedalam pesantren.

Atau banyak kisah mereka yang pada akhrinya tidak meneruskan bangku SMAnya karena di Bully oleh kawan-kawanya. Hingga pada akhrinya aku coba melakukan pendekatan kepada pihak sekolah agar bisa diterima kembali kedalam sekolah dan mau untuk bertindak tegas terhadap bullying yang terjadi padanya. Ada yang berhasil, namun banyak pula yang pada akhirnya kandas ditengah jalan.

Kawan SMP saya yang seorang waria pada dasarnya seorang yang sangat pandai disekolah, namun perilaku keluarganya yang menyiksa dia membuat dia saat ini mengalami depresi berat dengan tubuh hanya terbalut kulit dan kerangka, kadang-kadang Sholat di masjid hanya menggunakan pakean yang super sexy dengan mukena yang super tipis dan kadang-kadang tertawa-tertawa sendiri atau meminta-minta uang di pasar menghiba banyak orang.

Jadi, jika ditanya tentang apa yang saya inginkan dari sebuah komunitas. Hanyalah sesederhana bagaimana kita bisa mendampingi mereka secara psikologis terutama ketika mereka ketahuan orang tua atau keluarga. Aku berharap tidak lagi ada kawan-kawan yang putus sekolah SMA hanya karena merasa tidak nyamandi sekolah dan merasa dia tidak bisa menjadi diri sendiri hingga berakibat pada prestasi dan kehidupan dia.

Mencoba menghapus parameter yang buruk terhadap kawan-kawan dan memberikan informasi yang
benar tentang homoseksualitas atau bahkan ketika masyarakat marginal minoritas mendapatkan perilaku yang buruk oleh lingkunganya.

Ketika semua berimbas pada penembakan seperti yang terjadi di Corolado, atau ketika dia meracuni atau membunuh orang dan menjadi seorang psikopat. Kita tidak pernah melihatnya sebagai bagian dari lingkungan yang membentuk perilaku.

Saya bukan orang yang bermuluk-muluk memperjuangkan kawan-kawan untuk bisa melakukan pernikahan dan mendapatkan legal formalnya atas pernikahan itu karena itu bagi saya bukan goal utama. Merubah sistem yang terlanjur homophobia bukan dengan melawan mainstream global dengan mainstream tandingan karena pada akhrinya salah satu akan pecah.

Proses membangun revolusi sistemik, megangkan derajat hidup kawan-kawan komunitas, meningkatkan kualitas hidup, membuatnya bangga akan prestasi yang sebenarnya bisa dia buat dan menjadi support terhadap psikologis dia adalah hal yang sebenarnya hal yang saat ini lebih urgent ketimbang saya sok-sokaan memperjuangkan perubahan system dengan membahas tentang PERDA atau UU yang ada di Indonesia. Kalau kualias hidup kawan-kawan yang saling mensupport dan saling meberi dukungan, maka akan dengan mudah bendera LGBT akan dikibarkan tanpa kita memaksakan seseorang untuk menerima ataukah tidak.
Salam
^^